Manajemen Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Sen-Asen Konang Bangkalan

STAMIDIYA Selasa, 14 Maret 2017 12:07 WIB
4165x ditampilkan Galeri Headline Laman Dosen Opini Headline

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PP AL-HAMIDIYAH

(Dari sang Perintis Ke Sang Reformis)[1]

Abdul Rasid, S.Ag., M.Pd.I[2]

 

      A. PENDAHULUAN

Pondok Pesantren di Indonesia adalah lembaga pendidikan dengan sistem pengelolaan tradisional maupun modern yang berkembang sejak masa penjajahan, masa kemerdekaan, hingga sekarang. Perkembangan Pondok Pesantren berkaitan erat dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Pemeluk Islam ingin mempelajari dan mengetahui ajaran Islam, ingin pandai şalāt,[3] baca doa, dan baca al-Qurān.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai transmisi sejarah panjang dan transformasi keilmuan dengan karakteristik unik dan mandiri. Secara historis pesantren termasuk lembaga pendidikan bercorak Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang serta mampu bersaing dengan sitem pendidikan lainnya. Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader-kader ulamā (ilmuwan muslim) dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan.

Dalam kontek pendidikan nasional, pesantren merupakan pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan. Artinya bahwa pesantren itu merupakan lembaga pendidikan yang aturan mainnya berbeda dari aturan main pendidikan persekolahan pada umumnya, walaupun mungkin pada sebagaian karakteristiknya ada kesamaan. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri umum yaitu; 1)kyai sebagai figur atau pimpinan sentral; 2)asrama/pondok sebagai tempat tinggal dan belajar santri; 3)adanya kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajaran bandongan, wetonan, sorogan, hafalan, dan musyawarah,[4] dimana sebagian besar sekarang pondok pesantren telah berkembang dengan sistem klasikal/madrasah. Sedangkan ciri khususnya adalah pemimpin karismatik (kyai) dan sistem kehidupan agama yang mendalam.[5]

Kegiatan pendidikan dan pengajaran pondok pesantren tidak pernah terlepas dari tiga hal pokok yang menjadi ciri khas pendidikan pesantren yaitu; 1)keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah swt; 2)Pengembangan keilmuan yang bermanfaat di dunia dan akhirat; 3)Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara.[6] Penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran pesantren berbeda-beda antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya. Ada sebagian yang berubah karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan dan tuntutan masyarakat di lingkungan pondok pesantren (khalāfīyah), dan sebagian lagi tetap mempertahankan sistem pendidikan yang semula (salāfīyah).

Sejalan dengan fungsinya pondok pesantren khalāfīyah merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (Community Based Education) yang berorientasi pada tiga ranah pengembangan/pemberdayaan pendidikan pada umumnya yaitu; pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pesantren sebagai lembaga pengembangan sosial kemasyarakatan, dan pesantren sebagai lembaga pengembangan pengetahuan dan teknologi (Iptek).[7] Dalam perjalanannya hingga sekarang, sebagai lembaga sosial, pesantren telah menyelenggarakan pendidikan formal baik berupa sekolah umum maupun sekolah agama (Madrasah Diniyah, Madrasah Formal,Sekolah Umum, dan Perguruan Tinggi). Cukup banyaknya jumlah pesantren dengan beragam corak ini selayaknya menjadi catatan khusus bagi pemerintah terutama dalam rangka merealisasikan gerakan pendidikan untuk semua (education for all), dan pemberantasan buta huruf, serta penuntasan wajib belajar 9 tahun. Sehingga bisa meningkatkan Human Devolepment Indext (HDI) Indonesia di mata dunia yang saat ini sedang anjlok, jauh berada di bawah negara-negara tetangga[8].

Demikian halnya dengan pondok pesantren Al-Hamidiyah”. Pondok pesantren ini pada mulanya merupakan pondok pesantren salāfÄ«yah, yang berada di daerah terpencil terletak di Desa Sen-Asen Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan Madura, 48 km dari kota Bangkalan. Sejak awal berdirinya dari tahun 1975 dari salāfÄ«yah (tradisional) menjadi pesantren khalāfÄ«yah (modern), dari bangunan surau menjadi gedung yang megah. Kurang lebih 32 tahun melangkah pondok pesantren Al-Hamidiyah telah berhasil melaksanakan lembaga pendidikan formal maupun non formal, mulai dari kegiatan majlÄ«s al-ta’lÄ«m, Madrasah Diniyah (ulā-wusţā) Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsnawiyah, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Perguruan Tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hamidiyah Bangkalan.

Sejak kepemimpinan KH. Zarkazy Abdul Hamid (alm) sebagai perintis pertama, kemudian digantikan oleh putra ketiga dari empat bersaudara yaitu,  KH. Abdullah Dahlawie Zarkasy,[9] sebagai pengasuh kedua sampai sekarang. Pondok Pesantren Al-Hamidiyah walaupun berada di pelosok terpencil telah mampu menorehkan namanya  di tingkat lokal maupun di tingkat nasional dengan bukti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan seperti hari ulang tahun pesantren, seminar-seminar yang telah dihadiri oleh beberapa orang menteri dan jajarannya seperti Bapak Said Agil Husein Al-Munawar, Bapak Bakhtiar Hamzah, Bapak Kusmayanto Kadiman, dan Bapak Surya Darma Ali, Bapak nton Apriantono, Bapak Hamid Muhammad (Kemendikbud), Bapak Soekarwo, Bapak KH. Syaifullah Yusuf dan beberapa tokoh nasional, Provinsi dan Kabupaten lainnya.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren Al-Hamidiyah dengan melakukan berbagai macam pendekatan dan kerjasama dengan semua pihak telah membawa dampak positif bagi perkembangan pondok pesantren sehingga dalam kurun waktu yang relatif singkat pondok pesantren Al-hamidiyah menjadi sebuah lembaga yang besar dengan pola manajemen pesantren modern dengan gaya kepemimpinan pengasuh yang rasional-demokratik.

Para pakar manajemen memberikan rumusan tentang makna manajemen secara bervariasi. Berikut pengertian manajemen menurut beberapa pakar, seperti menurut Thoha[10] manajemen adalah suatu proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha oang lain. Menurut Mary Parker[11] mendefinisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Menurur Stoner[12] menjelaskan manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Fungsi-fungsi manajemen menurut Terry[13] menyatakan fungsi-fungsi fundamental melitputi; planning (perencanaan),organizing (pengorganisasian), actuating (menggerakkan), dan controlling (mengawasi/mengendalikan) yang di kenal dengan istilah POAC. Sedagnkan menurut Certo[14] : The four basic Management fungsions or activities that make up the managemen procces. These fungtions are planning, organizing, influencing, and controlling.

     B. SEJAERAH SINGKAT

Pondok Pesantren Al-Hamidiyah terletak di Desa Sen-Asen Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan Madura, pelosok desa dengan sosial ekonomi masyarakatnya sangat lemah dan taraf pendidikannya tergolong rendah. Mata pencaharian penduduk sekitar pondok pesantren adalah bercocok tanam dengan sistem pertanian tadah hujan, dan sebagian ada yang berurbanisasi ke kota bahkan menjadi TKI ke luar negeri.

Berangkat dari faktor di atas diiringi oleh kemauan hati yang ikhlas KH. Zarkasy Abdul Hamid sebagai pengasuh pertama dan sekaligus perintis Pondok Pesantren Al-Hamidiyah bersama tokoh masyarakat setempat berusaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Negara Republik Indonesia yaitu untuk “membangun manusia seutuhnya”. Dan hal tersebut juga telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke tiga yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Kemudian pada tahun 1975 dengan modal swadaya masyarakat didirikanlah sebuah surau (pondok kecil) yang pada awalnya hanya dijadikan tempat para santri yang berasal dari masyarakat sekitar untuk belajar al-Qurān dan belajar kitab kuning. Akan tetapi dengan antusiasnya masyarakat ditandai dengan banyaknya santri yeng berdatangan untuk belajar bukan hanya dari masyarakat sekitar tetapi juaga berasal dari luar daerah bahkan dari luar pulau seperti Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Sumatera dan Jawa dengan jumlah santri pada waktu itu +80 0rang. Melihat banyaknya santri yang ingin belajar dan mayoritas menetap/tinggal di pondok pesantren, maka pengasuh berinisiatif untuk mendirikan Madrasah Diniyah Salāfīyah untuk dijadikan tempat belajar para santri dengan sistem klasikal.

Pada tahun 1979 gedung Madrasah Diniyah Salāfīyah Al-Hamidiyah sebagai madrasah pertama di Kecamatan Konang selesai dibangun. Hal tersebut menjadikan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah semakin dikenal di wilayah Kecamatan Konang dan sekitarnya, walaupun berada jauh di pedalaman, jumlah santri mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga pada waktu itu jumlah santri + 500 orang putra dan putri.

Sepuluh tahun Pondok Pesantren Al-Hamidiyah berjalan dengan pola manajemen salafiyah murni yang hanya berorientasi pada pendidikan agama dengan mengadopsi model dan sistem pembelajaran Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Mata pelajaran umum seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sekarang menjadi PKn, pelajaran Matematika, pelajaran Bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran wajib di madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai tingkat Tsanawiyah. Dan juga memberikan pelajaran tambahan tentang                      Ahlu al-Sunnah wa al-Jamāáh (aswaja) yang berisi tentang materi ke NU-an. Sedangkan ijazah yang didapat oleh para santri ketika lulus adalah ijazah lokal yang dikeluarkan oleh pengasuh pondok pesantren dan belum diakui oleh pemerintah baik oleh Kementerian  Agama (Kemenag) maupun oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan    (Kemendikbud).

Berawal dari kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman, K.Abdullah Dahlawie Zarkasy (calon pengasuh kedua) bersama tokoh masyarakat, pengurus pesantren, dan wali santri mengadakan musyawarah untuk menformalkan lembaga madrasah yang ada untuk mengikuti program kurikulumm pemerintah bernaung dibawah Departemen Agama (Depag) waktu itu sekarang Kemenag, sehingga harapannya para alumni santri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah memiliki ijazah formal yang secara legal diakui oleh pemerintah. Dan hasilnya dilaporkan kepada KH. Zarkasy Abdul Hamid sebagai perintis dan beliau merestui.

Atas dukungan dari KH. Zainal Abidin, BA (tokoh muda dan aktifis NU Bangkalan, sekarang menjadi pengasuh PP.Assomadiyah Burneh Bangkalan), Bapak Jufri Agus, BA (pengawas pendidikan agama Islam kecamatan Konang, sekaligus mewakili Departemen Agama Kabupaten Bangkalan), H.Moh.Holil dan H.Moh.Sukri sebagai wakil dari tokoh masyarakat, maka Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Hamidiyah resmi di untuk diformalkan menjadi lembaga madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah di bawah naungan Departemen Agama (Depag).

Pada tahun 1986 Departemen Agama Kabupaten Bangkalan mengeluarkan surat ijin operasional Madrasah Ibtidaiyah, dan tiga tahun kemudian madrasah ibtidaiyah Al-Hamidiyah diperbolehkan mengikuti Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), karena sudah dianggap memenuhi syarat dengan bukti proses KBM sudah berjalan efektif mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI, dan materi pembelajara sudah dianggap cukup kerena sudah mencakup dua aspek yaitu mata pelajaran Agama (al-Qurān Hadīs, Fiqih, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab, dan SKI), juga mata pelajaran umum (PMP, Matematika, Bahasa Indonesia).

Setelah lulus dari madrasah Ibtiaiyah Al-Hamidiyah masih banyak para santri yang masih ingin belajar dan menimba ilmu di pondok pesantren kemudian calon pengasuh muda K.Abdullah dahlawie Zarkasy membuka lembaga atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebagai lanjutan dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1989, kemudian membuka Madrasah Aliyah (MA) pada tahun 1992. Setelah itu pada tahun 1996 dengan berawal dari 14 calon mahasiswa K.Abdullah Dahlawie berani membuka perguruan tinggi dengan nama “Ma’had Ali” kemudian menjadi STAI Al-Hamidiyah. Kemudian dengan kegigihan beliau pada tahun 2003 STAI Al-Hamidiyah Bangkalan baru mendapatkan ijin operasional dari Depertemen Agama Jakarta melalui Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertais) wilayah IV yang berada di Lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya sekarang menjadi UINSA. Sebuah perjalanan panjang (riÄ¥lah al-Ilmiyah) yang sangat melelahkan dengan hasil yang cukup memuaskan untuk menbangun umat Islam kedepan menjadi khaira al-Ummah.

Ä‚mu al-Husni (tahun kesedihan) menimpa Pondok Pesantren Al-Hamidiyah setelah pengasuh pertama KH. Zarkasy Abdul Hamid berpulang ke rahmatullah pada tahun 1997. Beliau adalah seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan juga pernah menjadi panglima laskar Hisbullah wilayah Kalimantan Barat pada masa penjajahan Jepang, aktifis Pemuda Anshor bersama Bapak Hamzah Has (mantan Wakil Presiden RI mendampingi ibu Megawati Soekarno Putri).

Setelah itu sentral manajemen Pondok Pesantren Al-Hamidiyah berada di bawah pimpinan K.Abdullah Dahlawie Zarkasy sampai sekarang, dan beliau baru menunaikan ibadah haji pada tahun 1999. Di tangan beliaulah Pondok Pesantren Al-hamidiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dari segi manajemen organisasi, manajemen administrasi, manajemen dan manajemen humas. Sehingga Pondok Pesantren Al-Hamidiyah dikenal sebagai pondok pesantren terpadu karena di dalamnya terdiri dari berbagai komponen lembaga mulai dari DinÄ«yah (pengajian kitab kuning, majlis al-Ta’lÄ«m, jam'iyah qirā'ah dan tilāwah, diba’Ä«yah dan muhādlarah serta pendidikan Dikdas Pontren tingkat ulā dan wustā) sampai pendidikan formal (mulai dari tingkat MI, MTs dan SMP, MA dan SMK serta Perguruan Tinngi STAI Al-Hamidiyah). Semua jenjang lembaga mulai dari pondok pesantren memakai nama Al-Hamidiyah karena dinisbatkan kepada sesepuh yaitu KH. Abdul Hamid ayahnya KH. Zarkasy yang apabila dilihat dari silsilahnya termasu keturunan yang ke 21 dari Sunan Gunung Jati (R.Syarif Hidayatullah).

C. MAKNA SANTRI

Mengawali pembahasan tentang arti dasar kata santri, penulis teringat pada pemaknaan (ta’rÄ«f) kata santri yang pernah disampaikan oleh “Murabbinā-murabbirrÅ«h”[15] DR. KH. Abdullah Dahlawie Zarkasy dua puluh satu tahun silam, saat itu penulis masih berstatus santri aktif di ponok pesantren Al-Hamidiyah[16] Sen-Asen Konang Bangkalan, ketika beliau mengajarkan kitab kuning atau kitab salafiyah (manuskrip pesantren) yaitu kitab ta’lÄ«mu al- mutaállimkepada para santrinya yang tersusun dalam sebuah dialog kecil sebagaimana berikut :

Murabbina : Sekarang saya mau bertanya kepada kalian semua, kalian semua yang ada di sini disebut para santri, coba kalian jawab apa artinya santri ? Siapa yang bisa menjawab?.

Santri : Semua santri terdiam sambil berfikir, kemudian dari mereka ada  yang mengangkat tangan untuk mencoba menjawab. Santri adalah murid yang sedang belajar mengaji kepada seorang kyai.

Murabbinā : Itu benar, hal itu adalah termasuk salah satu dari arti kata santri yang bersifat umum, tapi bukan pengertian itu yang saya maksudkan, apa ada yang lain?.

Santri : Semua santri tunduk terdiam tidak ada yang bisa menjawab dan kemudian salah satu di antara santri ada yang berkata, tidak ada yang bisa murabbÄ«, dan kami ingin mendengar pengertian dari murabbÄ«  tentang kata santri.

Murabbinā : Kalian perhatikan dan catat sebagai tambahan pengetahuan. Kata “santri” berasal dari gabungan dua buah kata berbeda, pertama berasal dari kata “san” yang diambil dari bahasa Arab “insan” berarti manusia, kedua berbunyi “tri” yang diambil dari bahasa sangsekerta berarti tiga. Jadi kata “san” dan kata “tri” disusun menjadi kata “san-tri” memiliki pengertian tentang “manusia yang memiliki tiga dimensi pengetahuan” yaitu : (1)pengetahuan tentang iman,(2)pengetahuan tentang Islam, dan (3)pengetahuan tentang ihsan. Apabila tiga dimensi pengetahuan tersebut dikuasai maka dia berhak menyandang gelar santri, dan dapat dikatakan “insān al-kāmilah” (manusia yang sempurna).

Benar atau salah arti kata santri yang dipaparkan oleh DR.KH. Abdullah Dahlawie Zarkasy tergantung dari sudut pandang mana, dengan metode apa, siapa yang memberikan penilaian dan bagaimana proses penilaian tersebut dilakukan. Akan tetapi bagi para santri lebih condong kepada kebenarannya setelah dianalisa secara logika bahasa sesuai dengan khasanah kebahasaannya.

Apabila ditilik dari asal kata “santri” yaitu istilah yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata santri mendapat awalan (prefiks) “pe” dan akhiran (sufiks) “an” yang kemudian berubah dalam bahasa lisan sehari-hari seharusnya menjadi “pesantrian” tetapi lebih dikenal dengan kata “pesantren” yang memiliki arti tempat para santri belajar menuntut ilmu. Hal itu lumrah terjadi sehubungan dengan kebiasaan lisan orang-orang Jawa yang suka menyingkat atau memendekkan kata.

Menurut bahasa arti kata Santri adalah “Sastri” (sansekerta) yang berarti orang yang melek huruf. Kemudian arti kedua adalah “Cantrik” (jawa) yang berarti seseorang yang mengikuti Kiai kemanapun dia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tertentu. Namun konon ada beberapa ‘Ulama yang memaknai kata Santri menjadi beberapa huruf arab yang dipilah. Santri terdiri dari empat huruf, yaitu SIN, NUN, TA, RO.

سِيْنَ) SIN  ) asalnya yaitu Satrul ‘Auroh (سَتْرُالْعَوْرَةِ  ) yang artinya menutipi aurat.[17] Arti ini memberi kepahaman bahwa santri termasuk orang yang selalu menutup aurat sekaligus berpakaian sopan. Makna ini menjelaskan bahwa Santri adalah orang yang senantiasa menutup auratnya. Aurat yang dimaksud disini ada dua macam, yaitu aurat lahiriah dan aurat batiniah. Seorang santri harus bisa menutup aurat lahiriah yang sudah ditentukan dalam syari’at. Kalau laki-laki dari pusar sampai lutut, dan perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Begitupun seorang santri harus bisa menutup aurat batiniah. Hatinya terjaga dari hal-hal yang mengundang dosa. Bertakwa kepada Alloh dimanapun santri berada. Salah satunya adalah dengan memiliki rasa malu. Budaya malu ini kalau boleh saya bilang sangat kental sekali di lingkungan pesantren. Memang itulah yang seharusnya dijaga oleh seorang santri. Karena malu adalah sebagian dari iman.

Nun نُوْن) ) asalnya  Ãƒâ„¢Ã¢â‚¬Â Ãƒâ„¢Ã…½Ã™â€¡Ã™â€™Ã™Å Ã™Â عَنِ الْمُنْكَرِadalah (mencegah perbuata-perbuatan dosa). Pengertian ini menunjukkan bahwa kata santri adalah orang yang meninggalkan perbuatan maksiat. Didalam pengertian Bahasa Indonesia “nun” berarti “Nafi’ul “ilmi” (ilmu yang bermanfaat). Ada yang berpendapat bahwa nun bermakna Naibul ‘Ulama (Wakil dari ‘Ulama). Makna ini menjelaskan bahwasanya santri harus memiliki pengetahuan yang luas. Baik dalam ilmu agama maupun dalam ilmu dunia. Kemudian dengan ilmu tersebut santri dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari. Bagaimana berinteraksi dengan masyarakat, bagaimana bersikap bijak dalam menghadapai persoalan masyarakat, bagaimana terus mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh itu, salah jika seandainya ada yang beranggapan bahwa santri adalah kaum yang termarjinalkan. Karena santri dituntut untuk terus berhubungan dengan masyarakat sebagai bagian dari misi sang ‘Ulama, yaitu berdakwah, karena ‘Ulama adalah pewaris para nabi.

Ta’ (ت ) asalnya ialah  ÃƒËœÃ‚ªÃ™Å½Ã˜Â±Ã™â€™Ã™Æ’ُ الْمَعَاصِيْ “Tarkul Ma’siy”  (menjaga diri dari hawa nafsu). Ini berarti para santri adalah orang yang selalu menjaga hawa nafsunya, agar tidak terjerembab dalam kenistaan. bermakna  (Meninggalkan Maksiat). Makna ini menegaskan bahwa santri harus senantiasa menjaga perilakunya. Dengan ilmu agama yang dimilikinya, seorang santri harus bisa menjaga idealismenya dalam berislam. Tetap memegang teguh syari’at islam yang menjadi dasar dari setiap pengambilan keputusan dikehidupannya.

Ra’ (  (رَاءْbermakna Roisul Ummah (Pelayan Ummat). Makna ini menekankan bahwa santri harus peduli kepada urusan Ummat Islam. Seperti yang kita ketahui, Pelayan memiliki dua tugas, yaitu pertama bagaimana dia beribadah kepada Alloh baik secara individu maupun sosial dan kedua bagaimana dia mengelola kepentingan Ummat. Disini santri yang berlabel sebagai pelayan harus memiliki kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi bisa berbentuk kemampuan untuk mentarbiyah dirinya sendiri agar tetap memiliki motivasi untuk beribadah. Kemudian kecakapan sosial bisa berbentuk kepiawaian dalam berpolitik, keramahan dalam berkomunikasi dengan lingkungan, dan bisa berlaku adil terhadap suatu perkara.

Dan yang terakhir adala ya’  asalnya yaitu  Ãƒâ„¢Ã… Ã™Å½Ã™â€šÃ™ÂÃ™Å Ã™â€™Ã™â€ Ã™Å’(yakin/mantab). Hal ini memberi pemahaman bahwa santri adalah orang yang selalu yakin dan mantap dengan cita-citanya. Karena para santri umumnya meyakini salah satu kandungan ndham imrithi:

إِذِ الْفَتَي حَسْبَ اِعْتِقَاَ دِهِ رُ فِعْ # وَ كُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْـتَفِعْ

Artinya: “ketinggian derajat pemuda, tergantung pada keyakinannya. Setiap orang yang tidak mempunyai keyakinan, maka ia tidak ada gunannya”.

Betapa berat sekali makna santri bagi kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat. Sama beratnya dengan tanggung jawab yang harus dipikul oleh santri. Seorang santri diharuskan memiliki perangai yang terpuji (Menutup Aurat, Meninggalkan Maksiat) dan mampu melayani Ummat (Wakil ‘Ulama, Pelayan Ummat). Melalui lembaga pesantrenlah santri ditempa dan dididik.

Menurut Johns, seperti dikutip oleh Zamhsyari Dhofir kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan menurut CC.Berg, sebagaimana dikutip oleh Dhofir berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[18] Dan menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan orang yang tinggal di rumah miskin atau bangunan pada umumnya.[19]

Kemudian menurut Nurkholis Madjid, ada dua pendapat tentang yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul kata santri. Pertama dari bahasa Sangsekerta “santeri” yang berarti “melek huruf” bagi orang Jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama, kitab-kitab bertuliskan bahasa Arab, atau paling tidak bisa membaca al-Qurān. Kedua berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang artinya seorang yang mengabdi pada seorang guru, cantrik selalu mengikuti ke mana saja gurunya pergi dan menetap, sehingga istilah guru-cantrik di kemudian hari berubah menjadi istilah kyai-santri.[20]

Pada masa perkembangan Islam di Jawa, yaitu pada masa Raden Rahmad sunan Ampel, beliau telah mendirikan sebuah lembaga perguruan yang diberi nama “Akademi Pesantren” di mana para siswa yang blajar di dalamnya terbagi ke dalam tiga tingkatan, seperti:[21]

  1. mahasiswa tingkat I diberikan sebutan “Cantrik” yaitu mahasiswa yang materi pelajarannya masih terfokus pada palajaran agama.
  2. Mahasiswa tingkat II diberikan sebutan “Putut” yaitu mahasiswa yang materi pelajarannya masih terfokus pada palajaran agama dan pengetahuan umum.
  3. Mahasiswa tingkat III diberikan sebutan “Jaggan”. yaitu mahasiswa yang materi pelajarannya masih terfokus pada palajaran agama, pengetahuan umum, dan ilmu bela diri (kanuragan).

Apabila mereka lulus dari tingkat III baru mereka diizinkan untuk dapat berdakwah. Dengan demikian kata santri dalam dunia pendidikan Islam bukan hal yang baru tetapi sudah di kenalkan sejak awal perkembangan Islam di Indonesia.

Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di suatu tempat yang dinamakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai  Menurut bahasa, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, shastri yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. 

Ada pula yang mengatakan berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi, seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di Pondok Pesantren, sebagai konsekuensinya ketua Pondok Pesantren memberikan tunjangan kepada santri tersebut.[22]

      D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, berkaitan dengan manajemen kepemimpinan (leadership) Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Bangkalan dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut:

  1. Manajemen kepemimpinan pondok pesantren Al-Hamidiyah (leadership) diawali dengan pola manajemen tradisional kharismatik pada masa KH.Zarkasy Abdul Hamid (1975-1992) dan pola manajeman rasional demokratik pada masa KH.Abdullah Dahlawie Zarkasy (1992-Sekarang) dengan melaksanakan kegiatan pendidikan pesantren dengan tipe “D” yaitu memadukan sistim pendidikan pesantren tradisional (salāfÄ«yah) dan sistem pendidikan pendidikan pesantren modern (khalāfÄ«yah).
  2. Pola kepemimpinan yang diterapkan oleh KH.Abdullah Dahlawie sebagai pengasuh kedua dengan sebutan khusus “murābbÄ«” menggunakan gaya kepemimpinan kolektif karena pola kepemimpinan yang dimiliki bersifat transformatif, responsif, edukatif dan administratif dibuktikan dengan tidak mutlaknya semua keputusan pimpinan yang berhubungan dengan program pengembangan pesantren.
  3. Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Bangkalan telah memiliki program kerja yang jelas melalui visi, misi dan tujuan khusus masing-masing lembaga di dalamnya mulai dari Ulā-wusthā, RA, MI, MTs, SMP, MA, SMK, dan perguruan tinggi STAI Al-Hamidiyah. Dari semua itu dipadukan menjadi satu kasatuan visi, misi dan tujuan pondok pesantren secara umum.
  4. Pengorganisasian Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Bangkalan meliputi dari menetapkan fungsi dan petugas pengelola pondok atau struktur pondok atau struktur organisasi lembaga yang ada di dalam pondok pesantren melalui mekanisme yang telah diatur dalam AD/ART pesantren, kemudian pengasuh atau murābbī sebagai pimpinan tertinggi dan sekaligus ketua yayasan mengangkat dan memberikan SK tugas sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikannya.
  5. Upaya-upaya strategis yang telah dilakukan pondok pesantren  Al-Hamidiyah Bangkalan dengan mendirikan lembaga pendidikann formal mulai dari RA, MI, MTs, SMP, MA, SMK dan Perguruan Tinggi STAI Al-Hamidiyah sehingga para alumni santri tidak hanya pulang dengan berbekal pengetahuan agama tetapi memiliki kemampuan pengetahuan umun serta memiliki sertifikat ijazah formal yang diakui oleh Negara.

 


[1] Kutipan Tesis Abdul Rasid dalam Ontologi PPS UINSA Surabaya Edisi 12 tahun 2008.

[2] Dosen STAI Al-Hamidiyah Bangkalan.

[3]Åžalāt merupakan rukun Islam yang kedua dengan pengertian dari segi etimologisnya memiliki arti doa dan dari segi terminologis syariat Islam memiliki arti sesuatu perkataan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan takbir dan di akhiri dengan ucapan salam. (lihat dalam AbÄ« Sujā’. Fath al-QorÄ«b ,Beirut:  Dār al-Fikr ,tt), 24.

[4]Bandongan/wetonan adalah semacam “Collective Learning Prosess”. Kegiatan belajar ini dilakukan dengan sistem kyai membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan/kitab kuning dan santri mendengarkan sambil memberi catatan pada kitab yang sedang dibaca. Sedangkan Sorogan adalah se‍macam “Individual Learning Prosess”, dalam proses belajar seperti ini para santri satu persatu disuruh membaca kitab kuning/manuskrip keagamaan dan Kiyai menyimak sambil mengevaluasi bacaan santri tersebut. Di samping itu masih ada metode lain seperti hafalan dan musyawarah (diskusi).(lihat Amin Haedari. Transformasi Pesantren ,Jakarta: Diva Pustaka, 2004),51.

[5]Basri, Pesantren: Karakteristik dan Unsur-unsur Kelembagaanya (Jakarta: Gramedia Widiya Sarana Indonesia, 2001),13.

[6]Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren (Jakarta: Ditjen Bagais Depag RI, 1982), 8.

[7]Amin Haedari,Transformasi Pesantren ,49.

[8]Depdiknas RI,Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2001),27.

[9]DR.KH.AA.Dahlawie Zarkasy adalah putra tunggal karena tiga saudaranya adalah perempuan yang sekarang satu orang berada di Pontianak Kalbar,satu orang berada di Wajak Dadapan Malang dan satu orang berada di koata Bangkalan semuanya mengikuti dan tinggal dirumah suaminya masing-masing.Jadi beliau adalah penerus tunggal pondok pesantren Al-hamidiyah Sen-Asen Konang Bangkalan (Silsilah bani KH.Abdul Hamid).

[10]Toha, Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), 232.

[11]Mary F.Cook, Human Resources,Direktor’s Hanbook, (New Jersy:INC.Englewood Cliff, 1984),45.

[12]Stoner.J.A.F, Menejemen, (New York: Prestice/Hall International, 1982), 181.

[13]Terry G.R, Principle of Management (Richard D.Irwn, INC. Homewood Illions, Seven Editions, 1977), 243.

[14]Certo,C.S, Management of Organizations and Human Resourses (Lowa: Wn.C.Brwon Publishes, 1984), 584.

[15]Murobbinā adalah ciri khusus sebutan/panggilan kapada pengasuh atau kyai di  Pondok  Pesantren                    Al-hamidiyah Bangkalan, berasal dari bahasa Arab yang berarti pelindung. Hal tersebut sudah menjadi tradisi di pondok pesantren seperti di Pondok Pesantren Demangan Bangkalan dikenal dengan istilah Syaikhona, di Pondok Pesantren As-Sirojiyah Kajuk Sampang di kenal dengan sebutan Mu’allim, di Pondok pesantren Al-Khoziny Buduran dikenal dengan sebutan Agus, di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan di kenal dengan sebutan MasyāyÄ«kh dan masih banyak sebutan yang lain seperti di NTB dikanal denga sebutan Tuan Guru, di Aceh dikenal dengan sebutan Teuku, dan lain sebagainya.

[16] Pondok Pesantren Al-Hamidiyah adalah lembaga pendidikan Islam terpadu, karena didalamnya terdapat lembaga pendidikan formal dan non formal mulai dari madrasah diniyah, pengajian kitab kuning, khitobah, muhadaoroh, Raudlatul Athfal Al-Hamidiyah, Madrasah Ibtidaiyah Al-Hamidiyah, Madrasah Tsanawiyah Al-Hamidiyah, Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah, SMP Al-Hamidiyah, SMK Al-Hamidiyah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hamidiyah. Berdiri mulai tahgun 1974 (salafiyah murni) dan berafiliasi dengan pendidikan formal mulai tahun 1990.

[17] Aurat dalam syariat Islama adalah anggota bada yang harus ditutupi dan tidak boleh dilihat oleh orang lain yang bukan muhrim, untuk laki-laki adalah anggota badan mulai dari pusar sampai dengan lutut. Sedangkan untuk perempuan adalah seluruh anggota badan kecuali telapak tangan dan wajah.

[18]Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren. 18.

[19] S.O.Robson, Java at the Crossroad: Aspect of Javanese Cultural History in the 14 th anh 15 th Centures dalam BK (Gravan Haage: Martinus Nijhoff, 1981), 275.

[20] Nurkholis Madjid, Pola Pergaulan Dalam Pesantren: Sebuah Potret Perjalana (Jakarta: Paramadina, 1997), 19-20.

[21] Hasan Shalidy, Sosiologo untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta: PT.Pembangunan, 1961), 53.

[22] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php