Santri Sebagai Agent Of Moral Force and Intellectual Modernity

STAMIDIYA Ahad, 3 Juli 2016 17:28 WIB
2362x ditampilkan Opini Headline Laman Dosen Pojok Kampus

Selama ini, sebagian besar pondok pesantren di Indonesia menampakkan wajah yang terkesan tradisional, sehingga banyak para pemikir meletakkan label-label minor seperti radikalisme, konservatif, fundamentalisme sebagai salah satu cirri pesantren. Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa wajah tradisionalisme pesantren menjadi bahan survive ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan pragmatism dan hedonisme masyarakat yang kian menggila. Pada taraf ini, pesantren mampu menjadi salah satu lembaga yang mengajarkan aspek teologis dan antroposentris. Pondok pesantren merupakan institusi multi fungsi. Didalam pesantren, masyarakat mampu mencari solusi terhadap berbagai problem yang ada di masyarakat. Didalam pesantren, masyarakat mampu meneguhkan moralitas dari gerusan prilaku immoralitas modernism. Didalam pesantren, masyarakat mampu beradaptasi dengan pesatnya perkembangan zaman dengan tidak menghilangkan  substansi keilmuan pesantren. Oleh karena itulah dari pesantren kita mampu merubah dunia atau peradaban (change the world or civilization) kea rah yang lebih baik.

Perkembangan zaman yang menjadi keniscayaan sejarah menjadi pijakan pesantren untuk berevolusi intelektual secara dinamis. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, berpikir teosentris merambah "dunia lain" dengan membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya parlente, menulis menggunakan computer, dan tidur di kantor-kantor yang serba beton dan corak berpikir antroposentris.  Corak pemikiran antroposentris pemikiran santri bukan serta-merta menghilangkan sisi teosentris, tapi santri yang bijak adalah santri yang dapat menggabungkan dua sisi keilmuan tersebut menjadi corak yang simetris dengan kehidupan manusia. Sisi moralitas dan humanisme ibarat dua sisi keeping uang yang tidak dapat dipisah antara satu dengan lainnya.   Santri sebagai agent of moral force Kaum santri selama ini dikenal memiliki semangat pejuang, pengabdian dan kesederhanaan. Kegigihan dan keuletan itu tumbuh dari spirit yang dikenal dengan etos atau etika kaum santri. Dengan kapasitas semacam itu maka kaum santri dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mampu mendorong tumbuhnya masyarakat harmoni dan sehat.

Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk dalam medan kuasa. Cengkeraman “libibo” politik santri telah menuntun bergerak dalam medan kuasa dan kepentingan. Pada satu sisi, hal ini membuktikan bahwa kaum santri yang bergerak selaras dengan gerakan Islam tidak benar-benar padam dalam pergulatan politik untuk memperjuangkan sisi-sisi moralitas kebenaran dengan cara merebut kuasa atas (nama) rakyat. Pada taraf ini, tidak jarang, kaum santri terpeleset dalam jurang immoral dan bahkan mempertontonkan prilaku amoral. Disisi lain, kaum santri dituntut untuk menjadi suri tauladan bagi masyarakat dalam dimensi sosial-masyarakat society. Dorongan syahwat politik yang sangat besar merupakan gejala laten yang menyeret sejumlah kaum santri untuk kembali “mondok” di Cipinang dan Medang.

Perjuangan kaum santri di medan politik sudah jauh menyimpang dari prinsip moralitas awal. Oleh karena itulah, penyimpangan dan penyelewengan dari moral dapat dikatakan sebagai (gejala) demoralisasi politik santri. Dari peristiwa tersebut, generasi santri selanjutnya memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan posisi santri sebagai moral force. Moralitas dan humanism sebagai spirit bertindak. Pada artian yang lain seluruh keinginan kaum santri masih memiliki batasan yaitu moralitas dan humanism. Transformasi teosentris ke antroposentris menjadi identifikasi dasar dari humanism. Inilah yang disebut dengan humanisme, semangat humanisme itulah yang kemudian melahirkan etika baru dalam kehidupan modern   Santri sebagai agent of intellectual modernity Dewasa ini, pemikiran pesantren yang dikonotasikan sebagai pemikiran kolot sudah mencerminkan wajah pemikiran modern. Sebuah sikap untuk membuka diri dengan intelektualitas luar sebagai mediasi dialogis keilmuan pesantren. Literatur-literatur tentang wacana Islam kontemporer seperti, Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya sudah mulai dikenal dalam dunia pesantren.

Salah satu bukti terjadinya sinkretisasi intelektual pesantren dengan intelektualitas kontemporer adalah kehadiran (alm) KH. Abdurrahman Wahid dan (alm) Nurcholish Madjid sebagai agen modernisasi intelektual yang notabenenya adalah seorang santri. Gerakan kaum intelektual muda memunculkan Jaringan Islam Liberal. Kelompok kajian sosial-keagamaan yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kelompok ini memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Lagi-lagi yang menjadi petinggi dan tokoh penting kelompok liberal ini adalah kaum santri seperti Ulil Abshar Abdalla, penggagas dan sekaligus kordinator JIL, Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi As-Syaukanie, Taufik Adnan Amal, Hamid Basyaib dan sebagainya.

Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi dan bahkan dijadikan momen untuk mengembangkan intelektualitasnya, sehingga melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun. Mereka diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab, karena di pesantren selalu diajarkan membangun kesolehan spiritual yang harus ditransformasikan dalam masyarakat atau kesolehan sosial.