Kemarahan Seorang Manusia, yang Bernama Edward W. Said

STAMIDIYA Selasa, 14 Maret 2017 21:01 WIB
2651x ditampilkan Galeri Headline Laman Dosen Opini Headline

alhamidiyah.AC.ID - Muniri : Secara teoritis, setiap orang yang diselimuti kemarahan, akan mengurangi kejelian dan kebijaksanaannya dalam menilai sesuatu. Mungkin orang yang menghindari menulis dalam kondisi marah, karena mengamini teori tersebut. Atau mungkin anjuran teori tersebut berlaku ketika “saat itu juga” sedang marah. Namun, faktanya ada yang kecerdasannya meningkat ketika dalam keadaan marah, dan saat itu perlu berbicara atau menuliskan sebab-sebab kemarahannya, dan apa tujuan dari kemarahannya.

Edward W. Said[1], menulis karya-karyanya monomentalnya setelah melihat tanah kelahirannya mengalami kerusakan parah, akibat serangan tentara Zionis. Dalam bukunya yang berjudul Orientalism, Said mengakui kemarahannya, dan ia memilih menyalurkan kemarahan dengan menggoyangkan jari-jemarinya, mengetuk huruf demi huruf di mesin ketiknya, hingga menjadi kata, dan menjadi kalimat penuh makna yang berenergi perlawanan atas dominasi dan hegemoni Barat pada tingkat wacana maupun pendudukan.

Said melawan dengan cara menulis balik (writing back), tentang Barat yang represif, dan meragukan segala stigma negatif atas timur, yang irrasional dan terbelakang, dan perlu dicerahkan. Kritiknya terhadap "persepsi" Barat yang mengawali penilaiannya terhadap Timur sangat elegan.[2] Menurutnya, Barat perlu mereparasi persepsi tentang dirinya yang "konon" rasional dan pembawa misi pencerahan, sekaligus Barat juga perlu mereparasi persepsinya terhadap Timur yang penuh ke"gelap"an. Diakui atau tidak, persepsi mengawali setiap penilaian terhadap sesuatu, karena begitu kuatnya pengaruh persepsi dalam setiap penilaian, sangat menentukan hasilnya. Hingga akhirnya, bukan lagi tentang benar dan salah, tapi sejauhmana hasil penilaian tersebut bisa operasional menciptakan relasi kuasa.[3]

Dalam teori relasi kuasa, pembentukan wacana “Yang Timur”, sekurang-kurangnya mempunyai alur sebagai berikut. Pertama, dengan metode "pembeda"[4], Barat melihat Timur merupakan realitas yang berbeda. Anggapan berbeda ini berangkat dari sebuah konsep antara subjek melihat objek, dalam bahasa pesantrennya, Barat mengakui dirinya sebagai fa’il, dan Timur (yakni kita) dijadikan maf’ul bihi. Perbedaan menurut anggapan Barat inilah, yang selanjutnya dijadikan bahan untuk melihat, mengkaji, menilai, dan menuliskan tentang Timur, yang bertumpu pada tradisinya sebagai standart penilaian.

Yang kedua, stigmatisasi. Pemberian stempel ini dilakukan setelah proses melihat dan menilai objek yang berdasar pada standart Barat lebih agung daripada Timur. Peletakan “Yang Timur” sebagai objek, dengan pemberian stempel irrasional dan terbelakang, menandakan upaya perlunya dicerahkan oleh Barat yang rasional dan berkemajuan.

Setelah dua proses di atas, data tentang realitas Timur yang minim, namun dipaksakan menjadi data maksimal. Selanjutnya realitas Timur dipaksa menjadi “Yang Timur” dan didudukkan serta dikampanyekan ke dunia Barat, bahwa di dunia ini, ada sebuah bangsa yang perlu dicerahkan, akhirnya berbondong-bondonglah orang Barat meneliti dan mengkaji realitas “Yang ditimurkan” tersebut. Pada level ini, keberadaan “Yang Timur” sebagaimana anggapan Barat di-cari-kan subtansinya, bahasa lebih ngawurnya subtansiasi atas stempel irrasional dan terbelakang, dan perlu dicerahkan.

Pada wacana "perlu" dicerahkannya “Yang Timur”, Barat mendapatkan legitimasinya untuk menjajah Timur, dan bangsa-bangsa kolonial lainnya membenarkan tindakan kolonialisasi tersebut, ditambah orang “Yang ditimurkan” mengalami distorsi kognitif, sehingga menganggap dirinya juga merasa perlu dicerahkan oleh Barat. Walaupun sebenarnya, “Yang Timur” tidak seperti yang diasumsikan oleh orang Barat. Di titik ini, kita perlu mawas diri, jika pada ujungnya adalah kolonialisasi, maka bisa dipastikan bahwa klaim Barat sebagai bangsa yang tercerahkan, dan anggapannya terhadap orang “Yang ditimurkan” sebagai bangsa yang perlu dicerahkan hanyalah “metafora” belaka.

Metafora, sebagaimana pengertiannya adalah salah satu majas dalam Bahasa Indonesia, dan juga berbagai bahasa lainnya. Majas ini mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis. Seperti halnya majazi dalam bab kata dan makna (ilmu logika), makna yang terkandung dalam majas metafora adalah suatu peletakan kedua dari makna asalnya, yaitu makna yang bukan mengunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan. Dan tentu, sudah barang tentu tidak sungguh benar, karena dipaksakan benar atas pertimbangan kepentingan kekuasaan, maka itu hanya “mitos”.

Kurang lebihnya, demikianlah kemarahan yang paparkan oleh Said, sebuah kemarahan yang ciamik, hingga melahirkan karya tulis yang menggemparkan dunia Barat, dan ia lakukan semua itu sebagai wujud pembelaannya terhadap kemanusiaan.

Wallahu a'lam bi al-shawab

Oleh: Muniri Faqod

 


[1] Nama lengkapnya Edward Wardi Said, lahir di Yerusalem, 1 November 1935 – meninggal di New York, 25 September 2003 pada umur 67 tahun) adalah seorang intelektual Palestina-Amerika yang meletakkan dasar-dasar teori kritis di bidang poskolonalisme.

Lahir sebagai seorang Arab Palestina di Yerusalem yang dikuasi Britania, Said mendapat kewarganegaraan Amerika dari ayahnya. Ia menghabiskan masa kecilnya di Yerusalem dan Kairo, di mana ia belajar di sekolah-sekolah elit Inggris. Said kemudian pindah ke Amerika Serikat, di mana ia meraih gelar sarjana dari Universitas Princeton dan doktor dalam bidang sastra Inggris di Universitas Harvard. Ia kemudian mengajar di Universitas Columbia sejak 1963, dan mendapat gelar profesor dalam sastra Inggris dan perbandingan sastra pada 1991.

Said terkenal karena karyanya, Orientalism (1978). Dalam buku itu, ia menganalisa aspek-aspek kebudayaan yang menjadi dasar pemikiran orientalisme, istilah yang ia definisikan ulang sebagai persepsi dan gambaran dunia Barat terhadap dunia Timur Tengah, Asia dan Afrika Utara, atau juga yang dikenal sebagai dunia Timur. Ia berpendapat bahwa pemikiran orientalisme tidak lepas dari masyarakat imperial yang menghasilkannya, yang membuat banyak karya dari pemikiran ini menjadi sangat politis dan menghamba kepada kekuasaan. Buku ini ditulis berdasarkan pengetahuan Said tentang sastra kolonial, teori sastra, dan poststrukturalisme. Karya-karya Said berpengaruh dalam ilmu kebudayaan, terutama dalam bidang teori sastra, dan mempunyai pengaruh transformatif dalam kajian Timur Tengah. Said kerap mendiskusikan dan mendebat subyek-subyek kebudayaan yang terkandung dalam orientalisme, terutama yang diterapkan dalam ilmu sejarah dan studia area; walaubagaimanapun, beberapa cendekiawan tidak sepakat dengan teori ini, terutama Bernard Lewis.

Sebagai seorang intelektual, Said berkarya dalam bidang kebudayaan, sastra, musik, dan politik modern. Didasari pengalaman hidupnya sendiri, terlahir dari keluarga Kristen Palestina di Timur Tengah pada sekitar waktu berdirinya Israel pada 1948, Said mengajukan pendirian sebuah negara Palestina. Ia juga secara vokal menuntut persamaan hak politik dan asasi manusia untuk rakyat Palestina di Israel, dan mendesak Amerika untuk menekan Israel untuk memberikan dan menghormati hak-hak itu. Said digambarkan sebagai "suara politik rakyat Palestina yang paling keras" oleh oleh jurnalis Robert Fisk. Namun begitu, ia juga mengkritik pemerintah negara-negara Arab dan Islam yang bertindak berlawanan dengan keinginan rakyatnya. (Diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Said, tanggal 13 Maret 2017, jam 20:25 WIB

[2] Konsep “Yang Timur”,  dapat dibaca lebih lanjut dalam karya Edward W. Said di buku Orientalism. Secara sederhana, bisa dipahami bahwa penemuan Yang Timur berasal dari praktek formasi diskursif, praktek ini yang dapat menggiring khalayak pada jalan pikiran dan kebenaran tertentu. Pada tingkatan praktek diskursif pemberian nama “Timur” dan “Barat” mengandung sejumlah asumsi yang mempengaruhi kesadaran kognisi menjadi dibatasi struktur diskursif tertentu. Sedangkan praktek non-diskursif-nya bergerak sebagai pendukung diskursus yang dimapankan lewat kolonialisasi verbal, yang merambah di semua domain kehidupan masyarakat, misalnya pendidikan, kinerja ekonomi, bahkan sampai pada penyebaran kekuasaan dan kontrol negara terhadap negara.

[3] Secara geneologis, pemetaan konsepsi “kekuasaan” sebelum diajukan Michel Foucault, antara lain: 1) Kekuasaan dalam Niccola Machiavelli, bahwa kekuasan hanya bisa dipertahankan dengan cara-cara kekerasan dan represif (intimidasi, teror, penyiksaan, dan tindakan yang menyebabkan sakit fisik). 2) Cara produksi, seperti kekuasaan dalam perspektif Karl Marx, yang memaknainya dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan ekonomi, dan manipulasi ideologi. 3) Kekuasaan berarti dominasi dan hegemoni seperti yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci, polanya bekerja secara integral antara aparatus koersif (Aparatus Negeri=pemerintah, tentara, polisi, pengadilan, dll) dan aparatus hegemonik (aparatus swasta=media, lembaga pendidikan, agama dsb). Sedangkan kekuasaan perspektif Foucault bersifat relational, tidak sekali-kali melainkan bersifat terus menerus, layaknya penjara yang di desain oleh Jeremi Betham, pengawasan berkala, sedangkan yang diawasi “merasa” diawasi terus-menerus. Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Penerjemah Rahayu S. Hidayat, (Jakarta, al-Qalam, 2002), 115

[4] Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Al-Fayyadl, yang menjelaskan tentang pengertian “perbedaan” (differance) menurut Derrida, bahwa “perbedaan adalah sebuah strategi untuk memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks. Karena sebagai stratetgi, maka “perbedaan” dapat membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu model pembacaan atas segala sesuatu. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, LkiS: 2005), 111